Sunday, August 17, 2008

Janji Suci


dengarkanlah wanita pujaanku
malam ini akan kusampaikan
hasrat suci kepadamu dewiku
dengarkanlah kesungguhan ini

aku ingin mempersuntingmu’
tuk yang pertama dan terakhir

Reff:
jangan kau tolak dan buatku hancur
ku tak akan mengulang tuk meminta
satu keyakinan hatiku ini
akulah yang terbaik untukmu

dengarkanlah wanita impianku
malam ini akan kusampaikan
janji suci satu untuk selamanya
dengarkanlah kesungguhan ini

akulah yang terbaik untukmu ...

Sejarah WARKOP DKI

Warkop atau sebelumnya Warkop Prambors, juga kemudian dikenal sebagai Trio DKI adalah grup lawak yang dibentuk oleh Nanu (nama asli Nanu Mulyono), Rudy Badil, Dono (Wahjoe Sardono), Kasino (Kasino Hadiwibowo) dan Indro (Indrodjojo Kusumonegoro). Nanu, Rudy, Dono dan Kasino adalah mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Jakarta sedangkan Indro kuliah di Universitas Pancasila Jakarta. Mereka pertama kali meraih kesuksesan lewat acara Obrolan Santai di Warung Kopi yang merupakan garapan dari Temmy Lesanpura, Kepala Bagian Programming Radio Prambors. Acara lawakan setiap Jumat malam antara pukul 20.30 hingga pukul 21.15, disiarkan oleh radio Prambors yang bermarkas di kawasan Mendut, Prambanan, Borobudur, alias Menteng Pinggir. Dalam acara itu, Rudi Badil dalam obrolan sering berperan sebagai Mr. James dan Bang Cholil. Indro yang berasal dari Purbalingga berperan saebagai Mastowi (orang Tegal), Ubai (orang Ansori). Kasino yang asli Gombong perannya bermacam-macam: Mas Bei (orang Jawa), Acing/Acong (orang Tionghoa), dan Buyung (orang Padang). Nanu yang asli Madiun sering berperan sebagai Tulo (orang Batak). Dono sendiri hanya berperan sebagai Mas Slamet (orang Jawa).

Ide awal obrolan Warkop Prambors berawal dari dedengkot radio Prambors, Temmy Lesanpura. Radio Prambors meminta Hariman Siregar, dedengkot mahasiswa UI untuk mengisi acara di Prambors. Hariman pun menunjuk Kasino dan Nanu, sang pelawak di kalangan kampus UI untuk mengisi acara ini. Ide ini pun segera didukung oleh Kasino, Nanu, dan Rudy Badil, lalu disusul oleh Dono dan Indro.
Rudy yang semula ikut Warkop saat masih siaran radio, tak berani ikut Warkop dalam melakukan lawakan panggung, karena
demam panggung (stage fright). Untuk hal itu, Rudy mengaku "Pernah sekali saya coba di panggung TIM, saya menyadari bahwa saya tidak mampu. Setelah itu ya nggak usah saja,"
Dono pun awalnya saat manggung beberapa menit pertama mojok dulu, karena masih malu dan takut. Setelah beberapa menit, barulah Dono mulai ikut berpartisipasi dan mulai kerasan, hingga akhirnya terus menggila hingga akhir durasi lawakan. Indro adalah anggota termuda, saat anggota Warkop yang lain sudah menduduki bangku kuliah, Indro masih pelajar
SMA. Pertama kali Warkop muncul di pesta perpisahan (kalau sekarang prom nite) SMP IX yang diadakan di Hotel Indonesia. Semua personil gemetar, alias demam panggung, dan hasilnya hanya bisa dibilang lumayan saja, tidak terlalu sukses. Namun peristiwa di tahun 1976 itulah pertama kali Warkop menerima honor yang berupa uang transport sebesar Rp 20.000. Uang itu dirasakan para personil Warkop besar sekali, namun akhirnya habis untuk menraktir makan teman-teman mereka. Berikutnya mereka manggung di Tropicana. Sebelum naik panggung, kembali seluruh personel komat-kamit dan panas dingin, tapi ternyata hasilnya kembali lumayan. Baru pada acara Terminal Musikal (asuhan Mus Mualim), grup Warkop Prambors baru benar-benar lahir sebagai bintang baru dalam dunia lawak Indonesia. Acara Terminal Musikal sendiri tak hanya melahirkan Warkop tetapi juga membantu memperkenalkan grup PSP (Pancaran Sinar Petromaks), yang bertetangga dengan Warkop. Sejak itulah honor mereka mulai meroket, sekitar Rp 1.000.000 per pertunjukan atau dibagi empat orang, setiap personil mendapat no pek go ceng (Rp 250.000).

Mereka juga jadi dikenal lewat nama Dono-Kasino-Indro atau
DKI (yang merupakan pelesetan dari singkatan Daerah Khusus Ibukota). Ini karena nama mereka sebelumnya Warkop Prambors memiliki konsekuensi tersendiri. Selama mereka memakai nama Warkop Prambors, maka mereka harus mengirim royalti kepada Radio Prambors sebagai pemilik nama Prambors. Maka itu kemudian mereka mengganti nama menjadi Warkop DKI, untuk menghentikan praktek upeti itu.

Dari semua personil Warkop, mungkin Dono lah yang paling intelek, walau ini agak bertolak belakang dari profil wajahnya yang 'ndeso' itu. Dono bahkan setelah lulus kuliah menjadi asisten dosen di FISIP UI tepatnya jurusan Sosiologi. Dono juga kerap menjadi pembawa acara pada acara kampus atau acara perkawinan rekan kampusnya. Kasino juga lulus dari FISIP. Selain melawak, mereka juga sempat berkecimpung di dunia pencinta alam. Hingga akhir hayatnya Nanu, Dono, dan Kasino tercatat sebagai anggota pencinta alam Mapala UI.

Ketertarikan Budjana Terhadap Gitar'nya

Ketertarikan dan bakat Dewa Budjana pada musik – khususnya gitar – sudah sangat dominan terlihat sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar di Klungkung Bali. Saat itu yang ada dalam benak Budjana kecil mungkin udah penuh dengan bayangan gitar, gitar……..dan gitar aja. Sampe-sampe di benak doi yang masih hijau itu bayangan gitar yang selalu ada itu terimplementasi menjadi suatu rencana “kejahatan kecil”. Doi pengen banget punya gitar. Mau minta langsung ama kakek/neneknya (saat itu doi tinggal/ikut kakeknya) dioi pikir pasti nggak bakal dikasihlah. Makanya akhirnya timbul niat “jahat” tadi, yaitu nyuri uang kakeknya untuk beli gitar. Bak penjahat profesional yang mau beroperasi, segala sesuatunya sudah betul-betul matang direncanakan. Kebetulan kakek neneknya adalah pelantun kidung / kakawin. Setiap Sabtu pasangan itu selalu “live on air” di RRI Klungkung melantunkan kakawin-kakawin. Nah, ini kondisi yang ter-planning di benak sang ‘penjahat’ kecil Dewa Budjana. Seperti lazimnya rumah-rumah di Bali, dalam satu keluarga komposisi rumah selalu ada rumah induk yang dan rumah-rumah di sekelilingnya. Kakek-nenek Budjana tinggal di rumah induk yang setiap mereka berdua pergi selalu dikunci rapat. Rencana “operasi gitar perdana” (begitu ‘kali kalo diberi judul) sudah betul-betul matang. Sebelum kakek-nenek berangkat ke RRI sang ‘penjahat’ sudah menyelinap ke rumah induk dan sembunyi di bawah kolong. Begitu kakek-nenek pergi dan mengunci rumah dari luar, otomatis sang ‘penjahat’ bisa leluasa beroperasi. Operasi itu rupanya termasuk operasi kilat, nggak nyampe bilangan belasan menit Budjana sudah berhasil mengantongi sepuluh ribu rupiah dan kabur lewat jendela (dikit banget yah hasil jarahannya ; namanya juga penjahat kecil-kecilan).


Nama asli / lengkap : I Dewa Gede Budjana
Tempat / tgl lahir : Waikabubak, 30 Agustus 1963
Motto hidup : " TAT TWAM ASI "
Musisi favorit : Keith Jarret , Jeff Beck , Jaco Pastorius
Jenis music favorit : Traditional

Album solo :
ALBUM SOLO "NUSA DAMAI" (1997)-
ALBUM ROHANI "NYANYIAN DHARMA" (1998)-
ALBUM SOLO "GITARKU" (2000)-
ALBUM SOLO "SAMSARA" (2003)
Group :
SQUIRRELL (1980 - 1985)-
SPIRIT (1989 - 1992)-
JAVA JAZZ (1993 - 1994)-
GIGI (1994 - Sekarang)

Website pribadi :
dewabudjana.com

Besoknya Budjana tak sabar lagi segera cabut ke Denpasar untuk merealisasikan obsesinya selama ini. Akhirnya……….dia pun sukses membawa gitar akustik lokal tanpa merek (buatan Solo) pulang ke Klungkung. Dan…….pas banget, harga gitarnya juga sepuluh ribu rupiah. Itu adalah gitar pertama yang dia miliki sepanjang karirnya di musik. Sayang sekali gitar bersejarah itu sudah nggak jelas lagi juntrungnya. Kalo ada akan semakin perfect-lah jajaran koleksi gitar Budjana yang sekarang sudah mencapai jumlah sekitar tiga puluhan itu. (mendampingi gitar elektrik pertamanya yang berhasil diburu lagi setelah sempat dijual) Dengar Budjana mulai genjrang-genjreng dengan gitar barunya, sang nenek pun (yang udah tahu kalo duitnya ilang Rp 10.000) langsung mafhum. Nyamperin Budjana yang lagi asyik dengan gitar barunya dan langsung dengan sedikit puitis (dasar pelantun kidung) ngomong ke doi : “Tadi malam aku mimpi kehilangan duit Bud…….”, ujar sang nenek. Budjana pun langsung berubah casting dari ‘penjahat’ menjadi ‘ksatria’, “Oh iya, itu memang aku yang nyuri”, aku Budjana polos. “Aku nyuri buat beli gitar”, sambung Budjana. Dan sang nenek udah nggak bisa apa-apa lagi. Beressss……..urusan casting ‘penjahat’ udah kelar, sekarang mulai casting peran baru dan panjang…….gitaris!
Wah, kayaknya casting gitarisnya belum clear bener dari pengaruh casting ‘penjahat’. Sejak punya gitar Budjana jadi rada lesu darah untuk sekolah. Maunya gitaran terus aja sepanjang hari. Jelas itu bukan jenis kemauan yang bakal direstui sesepuh. Nah di sini nih casting ‘penjahat’nya masih ada. Whatever, bagi Budjana nomore satu adalah gitar. Jadi kalo jam berangkat sekolah dia pun pake seragam dan pamit ama kakek-neneknya berangkat sekolah. Akan tetapi………….karena lokasi kamarnya terpisah dari rumah induk dia pun dengan mudah setelah pamit sekolah puter balik kembali ke kamarnya dan langsung ‘menggauli’ gitarnya lagi sampe saat jam pulang sekolah langsung lanjut adegan ‘adegan sinetron’ pulang sekolah. Pake sepatu lagi, keluar kamar muter sedikit dan langsung balik ke rumah induk, say hello ama grandfa en grandma seakan pulang sekolah (he..he..he…bisa aja elo Budj!)

Ditanya soal materi apa aja yang dia ulik dengan gitarnya itu sepanjang hari, mengingat waktu itu jelas referensi untuk belajar gitar jelas minim banget – apa lagi untuk kota sekaliber Klungkung. “Yaah…cuman denger-denger dari kaset aja….sama ngarang-ngarang sendiri”, jelas Budjana. “Lagu pertama aku belajar gitar waktu itu lagunya Deddy Dores ‘Hilangnya Seorang Gadis’ dan lagunya Rollies ‘Setangkai Bunga’”, kenang Budjana. Saat itu Budjana sama sekali belum tersentuh literatur-literatur musik/gitar yang formal. Buru-buru buku gitar, untuk bisa ngikuti perkembangan musik – khususnya di Indonesia – aja dia harus bela-belain ke Denpasar tiap minggu untuk beli majalah Aktuil (satu-satunya majalah berita musik yang terbit di tahun tujuhpuluhan itu). Fenomena ini juga bisa ngegambarin gimana intensnya interes Budjana ke musik. Temen-temen sebayanya saat itu nggak bakal deh bela-belain tiap minggu ke Denpasar pulang balik hanya buat beli Aktuil. Lagian paling juga Budjana aja di lingkungan temen SD-nya yang tertarik ama majalah Aktuil. Paling bacaan mereka juga sejenis majalah Bobo gitu.
Tahun 1976 Budjana ikut bokapnya yang dipindahtugaskan ke Surabaya. Di Surabaya inilah tapak karirnya di musik semakin jelas. Dia melanjutkan sekolah di SMP Negeri I dan kebetulan sekolah yang satu ini kegiatan ekstra kurikulernya cukup oke punya, khususnya di sektor ekstra kurikuler musiknya. Tiap tahun sekolah ini menggelar malam kesenian untuk menampung aspirasi murid-muridnya di bidang seni.

Dan di SMP I ini pula Budjana mendapat pengalaman manggung pertama kali. Saat persiapan malam kesenian seperti biasa diadakan seleksi (audisi) buat murid-murid yang ingin tampil. Dan Budjana pun ikut ngedaftar dengan materi lagu andalan saat pertama kali dia bisa main gitar : “Setangkai Bunga”.
Tiga tahun dia menambah pengalaman dan jam terbangnya berolah musik dalam kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler di SMP I. Pucuk dicinta ulam tiba. Dia di Surabaya lebih bisa memuaskan kehausannya pada ilmu-ilmu bermusik secara lebih formal. Budjana mulai belajar gitar klasik kepada Pek Siong di Yayasan Seni Musik Indonesia . Sementara selama dia di Klungkung referensi musiknya masih sangat terbatas. Di Surabaya dia mulai mengenal dan tertarik pada jenis musik-musik lain yang sebelumnya belum dia kenal karena keterbatasan referensi tadi. Budjana mulai tertarik dengan John Mc Laughlin (Mahavishnu Orchestra) dan bahkan jadi mengubah visi bermusik Budjana. Album “Birds of Fire” dan “Natural Element” (Shakti) adalah album Mc Laughlin yang menjadi favorit Budjana. Selain itu dia juga cukup interes dengan musik-musik artrock semacam Yes, Gentle Giant dan lainnya.

Lulus SMP Budjana melanjutkan ke SMA Negeri 2 tahun 1980. Tak beda jauh dengan saat di SMP I, SMA 2 pun kegiatan musiknya sangat oke! Bahkan lebih intens. Saat di SMA ini Budjana mulai mendengarkan Pat Metheny dan ini sangat terpengaruh pada pola dan cara bermain gitar Budjana. Juga album-album produksi ECM seperti John Abercrombie, Keith Jarret dan Bill Frissel. Tahun 1981 Budjana bersama beberapa temannya di SMA 2 membentuk Squirell Band dan bersama band inilah Budjana semakin berkiprah di blantika musik. Secara rutin Squirell mengisi acara jazz di TVRI stasiun Surabaya, juga panggung-panggung sekolah dan kampus di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Puncak prestasi Squirell adalah saat berhasil meraih juara I Light Music Contest di Jakarta tahun 1984. Saat itu Squirell membawakan komposisi Dewa Budjana “Nusa Damai”. Yang unik saat itu Budjana memakai fretless guitar desainnya sendiri (dengan body berbentuk bintang) yang sekarang sudah menjadi salah satu pajangan di Hard Rock Café Jakarta bareng gitar-gitar para gitaris dunia.

Tahun 1985 Budjana hijrah ke Jakarta dengan pertimbangan bahwa peluang untu mengembangkan karir di Jakarta lebih luas terbuka. Selain itu dia merasa teman-temannya bermusik di Surabaya dirasa nggak terlalu total ke musik, nggak seimbang dengan dia yang bener-bener total di musik dan itu dianggap akan menghambat karirnya secara individu maupun secara grup.Mulailah sang ‘penjahat’ kecil membuka lembaran baru di ibukota.Jurus Melawan Rutinitas Jakarta Setelah berada di tengah-tengah ramenya Jakarta tahun 1985, apa yang dilakukan Budjana? Merasa udah pernah meraih juara bareng Squirell di Light Music Contest setahun sebelumnya, Budjana menganggap sudah banyak orang tahu dan mengenal dirinya dia sebagai musisi. Belakangan terbukti dia cuma geer.
Ceritanya, berbekal referensi bahwa Squirell Band yang punya komposisi jazz sendiri, Budjana nekat datang ke pub untuk mulai menjajagi dunia entertain, lalu nyoba-nyoba nge-jam ama grup yang sedang main. Apa yang terjadi? Saat disuruh main lagu jazz standar yang termasuk gampang pun, ternyata dia nggak mampui nggak bisa.Dari situ Budjana baru sadar manfaat belajar jazz standar. Budj (begitu panggilan akrabnya) langsung aja nemuin almarhum Jack Lesmana, maestro jazz kita, dan kepada bokap Indra Lesmana ini Budj ‘mendaftarkan’ diri sebagai murid. Memang nggak salah alamat kalo pengagum Mahatma Gandhi ini berguru pada Jack Lesmana, dari beliau Budj banyak mengenal dan mendapatkan filosofi-filosofi bermain jazz, termasuk – tentu saja -- standard jazz.

Lantas, kenapa memilih jazz? Budjana berkisah, awalnya karena pengaruh tren musik saat pertama dia mulai intens di musik. Di akhir tahun 70-an saat Budjana masih SMP di Surabaya, yang sedang ngetren adalah musik-musik yang saat itu diistilahlan sebagai jazz rock atau juga jazz kontemporer. Banyak kaset-kaset yang beredar dengan label atau judul “Contemporary Jazz”, “Jazz Vocal” dan sebagainya dengan materi seperti musisi Al Dimeola, John Mc. Laughlin ataupun grup-grup seperti Weather Report, Return to Forever, dll.Budjana mengaku banyak belajar dari situ. Saking seringnya tampil bersama Squirell-nya dalan event jazz di Surabaya, akhirnya orang lebih mengenal Budjana sebagai pemain jazz. Padahal Budjana dan temen-temennya di Squirell sebenarnya nggak ada yang nguasain jazz secara yang sebenarnya. Di lingkungan musisi jazz sudah membudaya kalo lagi ngumpul-ngumpul secara spontan mereka akan main bareng, istilahnya nge-jam. Ternyata, setiap kali kesempatan itu datang anak-anak Squirell selalu mati kutu. Jazz bohong-bohongan dong

“Yah mungkin waktu itu kita cuma kebawa tren aja, jadi rada ada sok jazz-nya lah, cuma kenal kulitnya doang. Nggak mikir bahwa perlu belajar serius dari yang standar”, kilah Budjana. Melewati masa itu menurut Budjana ada bagusnya juga. “Kita jadi punya bekal dan terasah untuk menjadi senang bikin komposisi sendiri”, ujarnya. Kreasinya yang pertama untuk komposisi combo berjudul Legong Kusamba. “Sebelum itu sih sering juga ngarang-ngarang untuk kebutuhan operet di sekolah, tapi sifatnya ya hanya sepenggal-sepenggal aja sesuai dengan kebutuhan cerita”, jelas penggemar warna biru ini. Setelah merasa cukup punya bekal dari sang suhu, tahun 1986 Budjana ‘turun gunung’ mulai berkiprah dari pub ke pub sebagai session player memainkan top 40 dan musik-musik lain konsumsi dunia hiburan malam. Selain itu juga main di klub-klub jazz. Itu berlangsung sampai tahun 1993. Ditanya soal dampak positif-negatifnya main rutin di dunia hiburan malam selama itu Budjana menjelaskan, “Kami jadi lebih mengenal dan lebih peduli tentang sound (warna suara) khususnya kalo kami bawain top 40 sebab kami kan bawain macam-macam lagu. Kami jadi mengenal berbagai jenis lagu. Selain itu menambah reflek kami dalam bermain musik, dengan seringnya main kalo kami denger satu chord, kamiharus main ke mana, mainin yang gimana jadi bisa lebih reflek ngikutinnya”.

“Satu lagi, kami bisa belajar menghargai orang lain, dalam hal ini adalah tamu-tamu pub. Kami nggak bisa main semaunya sendiri tanpa mempedulikan selera tamu”, lanjut Budjana. Dampak negatifnya menurut Budjana kelamaan main di pub cenderung menghilangkan kreativitas.“Untungnya waktu itu aku masih sering ke Farabi (yayasan/sekolah musik. red.) Ngajar, terus kadang-kadang latihan dengan formasi trio, walaupun frekuensinya kecil paling tidak aktivitas berkreasi masih terjaga”, sambungnya. Pada umumnya segala aktivitas yang sifatnya rutin tanpa penyegaran-penyegaran akan membuat kita jadi jenuh, suntuk, mentok dan akhirnya mandeg. Untuk mengantisipasi itu Budjana punya kiat rada unik. Saat dia rutin memainkan jazz standar di klub-klub jazz, di luar itu sehari-harinya dia malah dengerin lagu-lagu pop seperti milik Toto. Sebaliknya saat di udah gabung ama Hydro – yang dominan bawain lagu-lagu sejenis Toto – dia malah sering dengerin lagu-lagu jazz standar. Biar seimbang, mungkin itu maksudnya.

Budjana memang lolos dari jebakan rutinitas ‘main malam’ (istilah musisi untuk main rutin di pub, café atau klub)., karena di samping itu juga aktif sebagai session player di dapur rekaman, di konser-konser big band/orchestra juga sempat gabung dengan beberapa band. Awal Budjana hijrah ke Jakarta sempat gabung dengan Indra Lesmana Group. Juga sebagai gitaris di Jimmy Manoppo Big Band, Orkes Telerama, Elfa’s, Twilite Orchestra, Erwin Gutawa Orchestra dan lain-lain. Tentu saja aktivitas-aktivitas itu menuntut kemampuan dalam membaca dan memahami not secara prima. Di sini Budjana lebih banyak lagi belajar membaca not dan makin banyak mengenal karakter musik. Sebagai session player di dapur rekaman cukup banyak juga petikan gitarnya menghiasi album rekaman seperti : Catatan si Boy 2, Indra Lesmana, Andre Hehanusa, Heidy Yunus, Memes, Chrisye, Mayangsari, Dewi Gita, Desy Ratnasari, Potret, Trakebah, Caesar (Deddy Dores), Nike Ardila, dll. Tahun 1989 Dewa Budjana gabung dengan Spirit Band dan sempat menghasilkan dua album. Yang pertama dirilis tahun itu juga dengan judul yang sama dengan nama grupnya, “Spirit” , dan yang kedua dirilis pada 1993 dengan judul “Mentari” yang diambil dari judul lagu karya kolaborasi Budjana (lagu) & Ingrid Widjanarko (lirik). Lepas dari Spirit, pengidola Bill Frissel ini gabung ama Indra Lesmana, Embong Rahardjo dan lainnya membentuk Java Jazz dan bermain rutin di Jamz. Setahun kemudian Java Jazz ikut ambil bagian di perhelatan akbar musisi jazz dunia North Sea Jazz Festival di Den Haag Belanda. Tahun itu juga grup jazz ini menelurkan album dengan judul Bulan di Atas Asia.

Pada 1992 Budjana pernah menyampaikan keinginannya untuk membentuk grup band dengan dua pemain gitar. Keinginannya tersebut baru terwujud dua tahun kemudian, yaitu pada 1994. Dia membentuk band dengan formasi dua gitaris, berpasangan dengan Baron. Band itulah yang sekarang kamu kenal dengan nama GIGI. Nggak kejebak rutinitas di GIGI Budj? “Pasti terjadi juga, kayak saat tur Kilas Balik 33 kota pasti timbul kejenuhan, bedanya kalo di GIGI kan dalam rutinitasnya masih ada rutinitas aktivitas berkarya, nggak seperti ‘main malam’ yang terus memainkan lagu orang. Itu yang paling bahaya!”, tandasnya. “Lagipula di GIGI kan kerja tim. Dalam proses kreatif bisa saling mengisi, kalo yang satu lagi turun mood-nya yang satunya mood-nya lagi bagus. Jadi proses kreatif secara tim akan terus berjalan”, lanjutnya. Selain itu Budjana membuat komposisi-komposisi untuk album solonya juga merupakan satu bentuk penyegaran yang lain dari aktivitas di GIGI. Makanya dia punya target paling tidak dua atau tiga tahun sekali dia rencanakan bikin album solo di tengah program album GIGI yang targetnya setahun sekali. Tahun 1997 Budjana menelurkan album solo pertamanya dengan judul “Nusa Damai” yang merupakan kumpulan komposisinya sejak awal doi mengenal gitar. Banyak pemerhati musik menyebut Nusa Damai sebagai otobiografi perjalanan musik gitaris penggemar film action ini. Di salah satu nomor album ini (“Ruang Dialisis”) Budj melibatkan almarhumah neneknya – yang duitnya pernah dicuri ‘Budjana kecil’ untuk beli gitar (baca edisi Juni) – untuk melantunkan kidung. Tahun ini Budjana juga sudah merampungkan album solo keduanya yang diberi judul “Gitarku” yang tinggal tunggu jadwal rilis aja.

Ditanya tentang gimana membagi waktu antara kegiatannya di GIGI dengan program solonya yang mungkin nantinya akan menyita banyak waktu, misalnya, untuk promo dan konser-konsernya, dia menjawab mantap: “GIGI tetap prioritas utama!” (baca box: Ketika Budjana Harus Memilih).Ketika Budjana Harus Memilih…. Bak judul sebuah sinetron, begitulah kehidupan Dewa Budjana. Baginya, GIGI merupakan bagian terbesar dari perjalanan karirnya sebagai gitaris. Karena itu, ketika ditanya kemungkinannya untuk cabut dari grup tersebut, dia menjawab dengan mantap. “Nggak mungkinlah aku ninggalin GIGI, kecuali ada kondisi-kondisi yang nggak memungkinkan lagi aku bareng anak-anak GIGI lainnya di Jakarta”. Maksudnya, mungkin aja kan terjadi kasus-kasus seperti di Ambon atau lainnya yang udah menyangkut SARA. Mau nggak mau dia bakal ngacir ke Bali. “Kan nggak mungkin aktivitas GIGI berpusat di Bali”, katanya berandai-andai. Kekhawatiran mungkin Budjana terlalu berlebihan. Maka, hal itu sebaiknya lebih dilihat sebagai ungkapan rasa cintanya pada GIGI. Atau sekadar basa-basi? “Selama aku pernah ngengrup sebelum GIGI dan dari pengamatanku pada grup-grup yang ada, kayaknya di GIGI lah ku temui bentuk toleransi yang paling bagus”, begitu alasannya. “Sebetulnya kurang objektif kalo aku yang ngomong soal ini, karena aku ada di dalamnya. Harusnya orang lain ya yang ngomong. Tapi kenyataannya ya gitu itu yang aku rasakan”, sambungnya.Memang dalam sebuah grup musik selain faktor teknis maupun non teknis, toleransi antar personel adalah faktor yang tak kalah penting. Perjalanan GIGI dari awal terbentuknya memang tidak mulus. Hengkangnya Baron, cabutnya Thomas, keluarnya Ronald, kemudian masuknya Budhy dan Opet dilanjut dengan resign-nya Opet dan kembalinya Thomas merupakan guncangan-guncangan beruntun yang menguji kekokohan GIGI. Dan waktu telah membuktikan bahwa Budjana-Armand cukup tegar dalam mempertahankan eksistensi GIGI.
Seperti diketahui, Dewa Budjana sempat merilis album solo berjudul, Nusa Damai, yang bernuansa personal dan jauh dari unsur komersialisme. Tapi tak tertutup kemungkinan bahwa jenis musik seperti ini suatu saat bakal bisa diterima. Dengan catatan strateginya mendapat perlakuan yang sama. Artinya, di situ ada perencanaan, kerja sama dengan berbagai kalangan, dan lain sebagainya. Ini kan hal yang menarik.

Budjana sendiri bukannya tidak menginginkan kondisi-kondisi seperti itu. Tapi, baginya toleransi hal yang paling penting. “Yang sulit dalam hidup ini kan toleransi…dan di GIGI toleransi itu sangat bagus”, ujarnya. Dia lantas bercerita tentang Armand Maulana yang lebih sering punya peluang untuk berkarier sendiri di luar grup, kayak jadi presenter, model iklan, atau apa pun. Toh kenyataannya peluang itu nggak pernah diambil. Lantas Budhy Haryono, misalnya. Tahun lalu pernah mendapat tawaran untuk ikut konser atau workshop selama beberapa minggu di Australia. Tawaran yang bagus itu nggak diambil karena GIGI jadwalnya lagi padat. “Aku pun begitu, GIGI adalah prioritas utama. Kalo aku bikin album solo, itu sekadar media untuk menyalurkan ekspresi dan kreativitas aja”, jelas gitaris yang suka traveling ini. “Sifatnya lebih eksklusif, kalo GIGI konsernya bisa padat banget (setahun bisa sampai 68 kali show. red), untuk soloku misalnya dalam bentuk konser gitar okestra setahun cuman empat kali udah cukup buat aku. Sekadar pengen ada aja sebagai simbol album soloku”, sambungnya. “Karena nggak mungkin ngejalanin bareng-bareng dengan kapasitas yang sama. Nggak mungkin bisa didapat dua-duanya”, lanjutnya lagi.
Jadi, jelas kan apa yang bakal dilakukan Budjana pada saat dia harus memilih? (dieth)

Friday, August 15, 2008

Miss Universe Support Visit Ina 2008



Miss Universe 2008 Dayana Mendoza (22) of Venezuela is scheduled to visit Indonesia, among other things, to meet President Susilo Bambang Yudhoyono, according to information of the Miss Universe Organization here on Monday. "She is scheduled to meet the President and several ministers, too," Talent Development Director of Miss Universe Organization Roston Ogata told ANTARA. Mendoza and Ogata planned to leave for Jakarta on Tuesday evening (Aug. 21) for a 10-day visit which will take them among other things to Jakarta, Yogyakarta, Bali and Bengkulu (Sumatra).


The Miss Universe will attend the Grand Final of Miss Indonesia Contest to be organized by Miss Indonesia Foundation (YPI) in Jakarta on August 15, 2008.
Indonesia will be the first country that she will visit since she was elected as Miss Universe 2008 in Nha Trang, Vietnam, recently.


Mendoza visited the Indonesian Consulate General office in New York on Monday before her departure to Indonesia. She was received by among others Indonesian Consul General Trie Edi Mulyani, Mrs. Sranya Marty Natalegawa, wife of the Indonesian ambassador to the United Nations, and Mrs. Non Kleib, wife of the Indonesian permanent representative in the UN. According to Ogata, Mendoza will also plan to visit Indonesia again in October 2008 for a production of advertisement on Indonesian product. Mendoza said Indonesia and Venezuela, as developing countries, have some similarities, including the characters of their peoples, who have smiley faces thanks to their countries` beautiful nature.


The Miss Venezuela was crowned Miss Universe 2008 on July 14, 2008. Mendoza, is a 5-foot, 10-inch, green-eyed beauty who enjoys learning languages and photography. She speaks Spanish, Italian and English fluently.


Thursday, August 14, 2008

SAHARADJA – Creativity with personality





Ever so often, we are privileged to witness a kind of uniqueness that serves as a reminder of our infinite talents as a species, and how we they can be used to bring light to a world clouded with the threat of darkness; we observe the emergence of certain individuals who seem as though divinely sent to remove doubt and resume our journey through life reinforcing our need to have faith in faith.Saharadja is a pure example of such a beauty. Their music boasts a fusion of styles that include various ethnic and contemporary types of music delivered with a soothing blend of acoustic harmony.It is said that music can change your state, and undoubtedly, Saharadja continuously takes you to a variety of pleasurable locations, with each track individually poised to explore your emotional response…An absorbing synchronization of strings, chords, horns, drums and vocals; Saharadja use all there is to create genuine food for the soul. A truly riveting experience in every sense of the word… An experience worth sharing with anyone whom you appreciate and even the ones you choose not to. Saharadja originate from the exotic island of Bali. Their music carries the same mystique as the island, and provides an access to a world where nature is valued in its true essence. Bali is truly a magical place and this unique export fully lives up to the essence of all that is Balinese. The spirit of Bali lives in Saharadja’s music, as they skilfully, through their music, acknowledge the world as a place not void of mystery but filled with information accessible to the spiritually enlightened. Saharadja embraces all that is beautiful and translates it into sounds that awaken your consciousness. It frees your mind.Ema Apenu II – 2006.
RIO SIDIK (Band Leader, Vocals, Trumpet and Guitar)
Rio Sidik was born and raised in the city of Surabaya in Java, Indonesia. Sidik's grandfather, Dariono, was a trumpeter with the Indonesian Navy and today continues to perform nightly with his big band. It was Dariono who inducted Sidik into the world of music, taking personal responsibility for training the young boy in jazz trumpet and the techniques of improvisation. Sidik first performed on stage at the age of ten with his brothers and sister, going on to appear regularly with his grandfather's big band Dariono not only kindled Sidik's passion for music, but also taught him the importance of dedication and discipline. Sidik has appeared as a soloist with many of Indonesia's top musicians , like Indra Lesmana, Buby Chen, Erwin Gutawa Orchestra. Rio has a talent for composition, and is a driving force behind much of Saharadja's original work. His true passion is jazz - his favorites including Miles Davis, Dizzy Gillespie, Arturo Sandoval, and Freddy Hubbard, to name a few. Rio and Sally Jo married in 2002

SALLY JO (Electric Violin)
Sally Jo was born in Darwin in the Northern Territory and was raised in Perth, Western Australia. Sally trained from the age of six in classical music, first on the violin and later on the viola. As a young teenager, she was selected for the Western Australian Youth Orchestra (WAYO), with whom she toured around Australia and in Japan. She was also selected for and attended several Australian National Music Camps. After completing high school, where she was the Concertmaster of the school orchestra, Sally went on to study music at the Western Australian Conservatorium (University of Western Australia). Sally had always had a love for Celtic music, and so, in 2000 she took a break from her classical music studies at the University of Western Australia to pursue this passion, under the instruction of well-known Western Australian fiddler, In late 2000 Sally took a working holiday in Bali where she taught English to school children. Soon after arriving in Bali, she met and fell in love with Rio Sidik. She began to learn jazz with Rio, jamming with his friends and credits him with showing her how much fun she could have doing something she loved. Now with Saharadja she finally feels that she has found her destiny. During the Saharadja process she has studied Indian, Gypsy, Cajun, Jazz, Chinese, Arabic, Balinese, Javanese, Sumatran and many other styles of music.

MARINA NASMAN (Lead Vocals)
Marina hails from Surabaya, Java and happens to be Rio’s younger sister. She grew up listening to her Grandmother, Mother and Aunty singing with big bands, which inspired Marina to start her musical career. She began lessons with her mother at age 6 which she recalls as a very tedious yet exciting course. At age 10 she began jazz lessons with her Aunty who was also a singer and trumpet player. She performed all over Surabaya with her 3 brothers on trumpet as part of the Trio Stamp Kids starting from the age of 7. She was actively involved in the local Singing Competitions and was often awarded first place. As soon as she graduated from high school, Marina devoted all her time to music. She auditioned for and was awarded a position in a cover band called ‘Wild Horses’and they performed in all the hot night spots in Surabaya for one year. She then went on to join Master Band- Surabaya’s most popular cover band. Master Band had regular guest appearances from Indonesia’s top pop stars including Krisdayanti, Ruth Sahanaya, Titi DJ, Syaharani and Andien. Marina and Master Band often performed for Government Events with guests including Governors, Mayors, and The President of Indonesia. Her international appearances include Finland and China. She moved to Bali in 2006 to pursue a world music career with Saharadja and has since enjoyed exploring different styles of music from all over the world and infusing it with her own style.

GEDE YUDHANA (Acoustic Folk and Classic Nylon Guitar, Vocals)
Gede was born on the beautiful Island of Bali in a village called Singaraja in Northern Bali. Gede began to teach himself the guitar at age 6 when the guitar was still much bigger than he was. Gede's father was a bass player in his youth and performed for many years in Malang untilthey moved to the small island of Lombok where Gede was raised. Gede passed many hours each day learning the guitar. At the age of 12, Gede formed his first band called 'No Name'. This cover band played at the Provincial Festival of Lombok alongside guest musicians. Gede always had a passion for jazz but unfortunately there wasn't a place for that in Lombok. Gede played with his cover band until he had saved enough money to buy his parents a small house, and then moved to Bali where he thought he had more of a chance to play the music that he was passionate about. He jokes, "8 years of playing covers was enough!!" In Bali, Gede worked with Pak Philmon, a renowned jazz pianist in Indonesia, learning how to play jazz, and also how to work together with a band.Gede claims he found his true love when he was first invited to play with Saharadja. "I love Saharadja so much. I was an only child growing up, so now I feel that I have 5 new brothers and a sister! Each member of Saharadja is always moving forward, so I always feel challenged. We are all so close, seeing as we spend every day of our lives together. I am confident about our future because we work so well together and never stop challenging each other."

BAROK KHAN (Banjo, Tabla, Sarod, Sitar, Guitar, Percussion)
Barok is the free-spirited member of the band who is always led by his heart. He began learning guitar at age 12 in Malang, East Java. During his school years he performed regularly at Indonesian Folk Music festivals, Religious Events, and often went busking from door to door. He moved to Bali in 1987 when he says: "My musical life really began." His brother visited from Germany and brought with him a set of Tabla. His brother knew that Barok had a talent for music so left with him the tabla and a huge variety of world music CDs. Barok discovered his love for World Music, especially Indian music and began performing with a variety of groups which took him to Jakarta, Yogyakarta and a range of festivals in Bali. He started with Saharadja in 2002 at a time he says: "I was born again!". He had finally found a group where he could play his Indian music, yet still explore other ethnic music. Finally in 2003 he took a chance to go to India for 2 months to experience the authentic classical Indian music. He studied with a Tabla Guru called Yusuf Khan in Jaipur, Rajistan where he studied Tabla and learnt to play music with his heart. He then traveled up to Daram Shalla where he met musicians from all over the world who gather there to perform classical Indian music. On his return, he brought with him new Tabla and a Sarod. This added even more variety to the Saharadja sound. He is committed to Saharadja and he feels after all that's happened in his life, he is happy to spend his life with this band. He states that playing with Saharadja is "like a social communication with the music as the mediator. I've found peace playing music, as it always brings good energy and brings me closer to God. I've played with many other groups before, but I've never felt the mutual respect and commitment that the band members have to each other like in Saharadja"

BADUT WIDJANARKO (Fretless Bass)
Badut hails from Surabaya on the island of Java in Indonesia. As a child, Badut was inspired by his grandfather - who played traditional Javanese music in a gamelan orchestra - to dream about becoming a musician. As a youngster, Badut enjoyed all kinds of music, from traditional music to pop music, and he took up the guitar. Badut's musical career began as a banjo player in a country music band that he formed with friends from other parts of Indonesia. Known as 'Surabaya Country', the band played at local events in his hometown of Surabaya. In 2000, Badut moved from Java to Bali because the island was becoming well-known as a melting pot of musical styles. There Badut met the other members of Saharadja and became one of the band's founding members. Badut is the quiet and enigmatic member of Saharadja who prefers not to be in the spotlight when on stage. Rather, he prefers to focus on the music, providing Saharadja's music with its strong bass structure

EDY SISWANTO (Drums)
Edy is the newest member of Saharadja, having joined them in 2004. Edy started to learn the drums as an extra-curricular activity at age 14 at his school in Denpasar. He formed a rock band with his school mates called Sandikala Band and together they performed at rock festivals throughout Indonesia. They once made the top ten finalists of a band competition created by Indonesian producer Logzelebhore. After graduating from high school, Edy became a full-time musician, performing in the cafes and bars around Bali. He played with a range of bands that played rock, covers, reggae, blues, dance and latin music. He studied jazz with pianist David Wijaya and performed as part of Wijaya's Jazz Trio - an outfit that often featured Bertha, a distinguished jazz singer in Indonesia. Because of his musical versatility, Edy became a highly sought after drummer. As a member of Jiwa Band, State of Mind, Dian Karan band, Duotones and Kayane, he has recorded and performed at various festivals. When he was invited to join Saharadja in 2004 Edy was excited because he had been wanting to play in a band that played a mixture of musical styles. He says "It's an extraordinary experience playing with this band because there is a huge assortment of instruments - from traditional to electric and the music is such a challenge. I also feel there is a strong bond inside Saharadja and I know that together we have a strong future."
source by myspace.com/saharadja

I am Yours


Well you done done me and you bet I felt itI tried to be chill but you’re so hot that I meltedI fell right through the cracksand now I’m trying to get backBefore the cool done run outI’ll be giving it my best testNothing’s going to stop me but divine interventionI reckon its again my turn to win some or learn some

I won’t hesitate no more, no moreIt cannot wait, I’m yours

Well open up your mind and see like meOpen up your plans and damn you’re freeLook into your heart and you’ll find love love loveListen to the music of the moment maybe sing with meAh, la peaceful melodysIt’s your God-forsaken right to be loved love loved love love

So I won’t hesitate no more, no moreIt cannot wait I’m sureThere’s no need to complicateOur time is shortThis is our fate, I’m yours

I’ve been spending way too long checking my tongue in the mirrorAnd bending over backwards just to try to see it clearerBut my breath fogged up the glassAnd so I drew a new face and laughedI guess what I’m saying is there ain’t no better reasonTo rid yourself of vanity and just go with the seasonsIt’s what we aim to doOur name is our virtue

I won’t hesitate no more, no moreIt cannot wait I’m sureThere’s no need to complicateOur time is shortThis is our fate, I’m yours

Well no no, well open up your mind and see like meOpen up your plans and damn you’re freeLook into your heart and you’ll find love love love loveListen to the music of the moment come and dance with meah, la one big family ([2nd time:] ah, la happy family)It’s your God-forsaken right to be loved love love love

I won’t hesitate no moreOh no more no more no moreIt’s your God-forsaken right to be loved, I’m sureTheres no need to complicateOur time is shortThis is our fate, I’m yours

No I won’t hesitate no more, no moreThis cannot wait I’m sureThere’s no need to complicateOur time is shortThis is our fate, I’m yours, I’m yours

Wednesday, August 13, 2008

3 Permintaan Beruang & Kelinci


Friday, August 08, 2008

Go Green Indonesia ....!

pic by www.cox.com

Wednesday, August 06, 2008

jazzyholic from Bali

Salah satu penampil dalam Bambu Nusantara "World Music Festival" adalah I Wayan Balawan. Balawan lahir di Gianyar, Bali pada 9 September 1972. Mulai bermain gamelan pada usia 8 tahun dan mulai belajar gitar pada usia 12 tahun. Pada tahun 1993, Balawan mendapat beasiswa untuk belajar di Australian Institute of Music di Sydney selama 3 tahun. Beberapa tahun belakangan ini Balawan mulai mendalami teknik bermain gitar yang dikenal sebagai touch technique (tapping technique) dengan menggunakan 8 jari yang menyerupai piano. Dimana tangan sebelah kiri berfungsi memainkan kord dan bass sedang tangan kanan memainkan melodi.Sekembalinya ia dari Australia tahun 1997, Balawan kemudian membentuk kelompok Batuan Ethnic Fusion yang terdiri dari I Wayan Balawan, I Wayan "pecok" Suastika, I wayan "mangku" Sudarsana, I Nyoman Marcono, I Nyoman "panak supire" Suwidha, I Gusti Agung Bagus Mantra, I Gusti Agung Ayu Risna Dewi dan Ito Kurdhi. Mereka memainkan berbagai instrumen seperti Cengceng, Rindik, Reong, Suling, Genjek, Kemply, Cymbals, Kendang dan lain-lain.Kelompok ini tampil secara reguler di Bali, juga sempat tampil di Jakarta Jazz Festival tahun 1997.

Balawan juga sempat tampil dalam acara BALI JAZZ PARADE yang digagas oleh Bali Jazz Forum. Dengan menampilkan perpaduan alat musik elektrik (gitar dan bass) dengan instrumen tradisi Bali, Batuan Ethnic Fusion menjadi group yang unik. Bahkan dalam beberapa kesempatan di Bali, Batuan Ethnic Fusion tidak hanya tampil dalam bentuk musik hidup namun juga ditemani dengan penari.Pada Oktober 1999, Balawan & Batuan Ethnic Fusion merilis album debut mereka yang berjudul gloBALIsm. Sebuah album yang digarap oleh produser Dewa Budjana, dengan label Chico & Ira Productions dan didistribusikan oleh Aquarius Musikindo. Komposisi yang ditawarkan merupakan paduan antara musik tradisional Bali dengan sentuhan modern, dengan lirik yang mencampurkan bahasa Bali dan Inggris. Terdapat juga penampilan Balawan secara solo dan duet dengan Dewa Budjana.Proses rekaman album gloBALIsm dilakukan di Stasiun RRI Denpasar oleh Jimmy Sila. Namun untuk dua lagu, 'Putri Cening Ayu' dan 'Morning of the Earth' direkam di Studio oleh Dewa Budjana. Bagian mixing dan mastering digarap oleh Indra Lesmana.Tahun 2001 lalu, I Wayan Balawan lewat sebuah label Jerman, Acoustic Music Records merilis album yang diberi titel sesuai dengan namanya sendiri, Balawan. Album ini berisi 17 lagu yang merupakan paduan antara nomor standar dan orisinil bahkan tradisional bali yang khas. Ada karya Antonio Carlos Jobim, Cole Porter, V. Young, Duke Ellington, G. Gershwin dan lain-lain. Yang menarik salah satunya tentu saja adalah 'Putri Cening Ayu' yang dimainkan dengan teknik 'touch/touch' tapping menggunakan gitar bersenar 12.Dalam linear notesnya ia menulis, "Music is a gift. It is an expression of life. An Image of the soul. I dont consider my music as belonging to any particular genre...."

(taken from WartaJazz.com)

Bogor Kota Angkot

BOGOR ... kota kelahiran saya dimana saya tinggal selama 18 tahun sejak Oct 20, 1982 sampai dengan June 2000 dimanagwe lahir dan belom punya teman sampai saya punya beribu - ribu teman bahkan pacar lho (tapi gak beribu - ribu). pertama saya mengenal Bogor saya cukup terkesan dengan keasrian dan kenyamanan kota Bogor, hijau, permai, damai, penuh cinta (alagh ...), sejuk, beraroma (kaldu kalee ...), disiplin. Tapi sekarang Bogor dipenuhi dengan berjuta - juta angkutan umum sampai gwe bingung, gwe pikir itu pohon .. tapi gak taunya angotan kota... ada 01, 02, 03, 04, 05, 06 dengan jurusan mereka masing - masing. Gila ya ... kalo Bogor kaya gini terus pasti orang - orang sumpek dengan kota Bogor ...

Sejak gwe hijrah ke Bali th 2000, gwe ngerasa keilangan dengan keseharian gwe, diBali gwe yang harus beradaptasi lagi dengan lingkungan sekitar. Gwe aja sampe bingung ... diBali kenapa kok gak ada angkot ... dapi Bogor sendiri punya bejibun - jibun angkotan kota. tapi gwe bangga pernah lahir dan tinggal di Bogor ... secara orang - orang sana gak pada belagu, asik semua, temen - temen gwe yang sederhana dan kekeluargaan yang kuat.

One day gwe pasti akan balik lagi ke Bogor walaupun cuma untuk jalan - jalan aja, nostalgia dengan temen dan keluarga, tetangga dan para senior gwe dan gwe gak akan pernah ngelupain kota kelahiran gwe yaitu buitenzorg alias Bogor ....

Gwe, Allison ma Teh Ulfa

Ulfa Dwiyanti ... sapaan seorang wanita yang santun, kocak dan agak lebar dan dia tinggal di Aston Denpasar untuk pertama kalinya. Beliau senang untuk tinggal di Aston Denpasar dan merasa cukup puas dengan pelayanan hotel kami, padahal Aston Denpasar belom ready banget. Tapi dia enjoy banget dan pengen balik lagi pastinya. sepertinya Aston Denpasar bakal dikunjungi oleh beberapa artis secara Aston Denpasar gitu ... apalagi sales nya ... keren abiesssssss ... apalagi yang cowo item manis dan ndoet itu lho ... (narsis abiessss) Beliau akan tinggal lagi kalo dia ke bali lagi dan dia akan memberikan referensi ke Bali dan tinggal di Aston Denpasar kepada teman2nya ... hidup teh Ulfa .... sukses terus ya teh ....

Tuesday, August 05, 2008

Which Genre You Like ???


Jazz has been called America's classical music, and for good reason. Along with the blues, its forefather, it is one of the first truly indigenous musics to develop in America, yet its unpredictable, risky ventures into improvisation gave it critical cache with scholars that the blues lacked. At the outset, jazz was dance music, performed by swinging big bands. Soon, the dance elements faded into the background and improvisation became the key element of the music. As the genre evolved, the music split into a number of different styles, from the speedy, hard-hitting rhythms of be-bop and the laid-back, mellow harmonies of cool jazz to the jittery, atonal forays of free jazz and the earthy grooves of soul jazz. What tied it all together was a foundation in the blues, a reliance on group interplay and unpredictable improvisation. Throughout the years, and in all the different styles, those are the qualities that defined jazz.

Rock & Roll is often used as a generic term, but its sound is rarely predictable. From the outset, when the early rockers merged country and blues, rock has been defined by its energy, rebellion and catchy hooks, but as the genre aged, it began to shed those very characteristics, placing equal emphasis on craftmanship and pushing the boundaries of the music. As a result, everything from Chuck Berry's pounding, three-chord rockers and the sweet harmonies of the Beatles to the jarring, atonal white noise of Sonic Youth has been categorized as "rock." That's accurate — rock & roll had a specific sound and image for only a handful of years. For most of its life, rock has been fragmented, spinning off new styles and variations every few years, from Brill Building Pop and heavy metal to dance-pop and grunge. And that's only natural for a genre that began its life as a fusion of styles.

Blues is about tradition and personal expression. At its core, the blues has remained the same since its inception. Most blues feature simple, usually three-chord, progressions and have simple structures that are open to endless improvisations, both lyrical and musical. The blues grew out of African spirituals and worksongs. In the late 1800s, southern African-Americans passed the songs down orally, and they collided with American folk and country from the Appalachians. New hybrids appeared by each region, but all of the recorded blues from the early 1900s are distinguished by simple, rural acoustic guitars and pianos. After World War II, the blues began to fragment, with some musicians holding on to acoustic traditions and others taking it to jazzier territory. However, most bluesmen followed muddy waters lead and played the blues on electric instruments. From that point on, the blues continued to develop in new directions — particularly on electric instruments — or it has been preserved as an acoustic tradition.

Monday, August 04, 2008

BRAVO ... ARIS IDOL ....!!!! GOKIL ABISSSSS ...

Cowo yang stu ini GOKIL ABIESZZZZ secara Aris Idol yang memiliki nama asli Januarismanto, namun lebih suka dipanggil dengan Januarisman Runtuwene adalah penyanyi yang namanya mulai dikenal sejak menjadi juara Indonesian Idol Musim Kelima tahun 2008. Aris berhasil menjadi juara setelah hasil polling SMS yang didapatnya mengungguli Gisel. Gwe dari pertama udah feeling kalo dia pasti jadi newly IDOL secara pd'nya dia dan keberanian dia yang buat semua umat pasti langsung kelepek2 pas dia nyanyi ... rocky banget ...

Pria kelahiran Jakarta, 25 Januari 1985 ini sebelum mengikuti ajang Indonesian Idol berprofesi sebagai pengamen di kereta listrik Jabotabek dan Terminal Kampung Melayu. Putra Silop Runtuwene dan Siti Rohaya ini menikah dengan Rosillia Octo Fany pada 22 September 2007 dan telah dikaruniai seorang putri, Mocalist Rasya Fatiruwllah. Gila ya ... udah punya anak tapi dia masih tetep berjuan untuk keluarganya dia, tapi TUHAN emang adil ... langsung diberikan gelar IDOL 2008, konser terakhir buat gwe nangis man .. secara dia nyanyi pake rasa banget sampe Indra Lesmana dan Anang Hermansyah juga yakin kalo dia bakal the next idol.

BRAVO BRAVO ARIS IDOL .... tolong nyanyikan kami dengan suara serakmu itu ... salam buat Ibu dan keluargamu ... gak nyangka ... pengamen bisa jadi IDOL ... BRAVO ....!!!

Friday, August 01, 2008

Hitamku - Andra n Backbone


Masih adakah separuh hatiku
Yang kuberikan hanya untukmu
Ku harap engkau masih menyimpannya
Jangan kau pernah melupakannya

Maafkan kata yang t’lah terucap
Akan ku hapus jika ku mampu
Andai ku dapat meyakinkanmu
Ku hapus hitamku

Masih adakah separuh janjiku
Yang kubisikkan hanya padamu
Ku harap engkau masih mengingatnya
Jangan kau pernah melupakannya

Andai ku dapat memutar waktu
Semuanya tak kan terjadi

Ku hapus hitamku untukmu
(Simpan separuh hatimu)
Ku hapus hitamku untukmu
(Simpan separuh janjimu)
Ku hapus hitamku untukmu
(Simpan separuh hatimu)
(Simpan separuh janjimu)

this song for you ...
someone special who grab my hearth

HERO - Enrique Iglesias

(Whispered) Let me be your hero
Would you dance if I asked you to dance?
Would you run and never look back
Would you cry if you saw me crying

Would you save my soul tonight?
Would you tremble if I touched your lips?
Would you laugh oh please tell me these
Now would you die for the one you love?
Hold me in your arms tonight?

(Chorus)
I can be you hero baby
I can kiss away the pain
I will stand by you forever
You can take my breath away


Would you swear that you’ll always be mine?
Would you lie would you run away
Am I in to deep?
Have I lost my mind?
I don’t care you’re here tonight

(Chorus)
I just want to hold you

(2x) Am I in too deep?
Have I lost my mind?
Well I don’t care you’re here tonight

Chorus (2x)
You can take my breath my breath away

I can be your hero


Blogspot Template by Isnaini Dot Com Powered by Blogger and Local Jobs